![]() |
👻 |
Nah, pas lagi ngelirik salah satu etalase baju yang gemes banget, dia nyeletuk polos, “Ih, lucu ya bajunya.”
Dan di situ, ekspresi temennya langsung berubah 180 derajat. Katanya sih kayak campuran antara kaget, sinis, meremehkan, dan sedikit... mual. Bibirnya manyun, matanya nyipit, dan atmosfer mendadak dingin kayak AC di ruang tunggu BPJS.
Yang lebih lucu, ekspresi temennya itu bukan cuma kayak orang heran, tapi udah kayak sedang menganalisis keuangan negara. Padahal ya, yang ngelirik baju siapa, yang kepo siapa, yang langsung nge-judge siapa.
Temenku diem. Antara pengen ketawa, kesel, dan mikir, “Serius nih, cuma ngomong ‘lucu ya’ langsung dinilai kayak mau beli baju harga sebulan SPP?”
Padahal nggak ada niat buat beli, cuma sekadar suka. Tapi dari situ, dia ngerasa dipandang rendah, seolah-olah nggak pantes punya selera bagus karena status ekonominya nggak sekelas. Lah, siapa juga yang ngajarin kalau selera harus sesuai saldo?
Yang nyebelin bukan cuma ekspresi temennya, tapi juga aura merendahkan yang kayak... "aku lebih ngerti hidup daripada kamu." Padahal, kata temenku, kalau dibanding-bandingin, ya sama aja. Bahkan bisa dibilang, si temennya ini juga bukan Forbes 30 under 30, cuma lebih jago nyinyir.
“Aku bukan pengemis gaya,” katanya sambil ketawa, “tapi ekspresi dia tuh bikin isi hati temenku yang empuk jadi bantat.”
Kadang orang memang terlalu gampang menilai. Bahkan dari hal sekecil komentar soal baju. Seolah-olah komentar itu adalah pengakuan resmi: “Saya siap beli barang ini dengan kartu debit platinum.” Padahal kan nggak.
Karena kenyataannya, kita ini semua sama-sama manusia, bedanya cuma versi paket ekonominya aja. Ada yang hidupnya udah di upgrade, ada yang masih nyicil hidup, tapi itu nggak bikin satu lebih tinggi dari yang lain.
Temenku sih sekarang udah nggak terlalu peduli. Katanya, lebih baik punya selera tinggi tapi tetap rendah hati, daripada punya ego setinggi langit tapi dompetnya... ya gitu deh.
Kalau dipikir-pikir, yang paling elegan itu bukan gaya hidup mewah, tapi sikap yang tahu tempat. Yang bisa menilai tanpa menghina, dan bisa tertawa tanpa menyindir.
Semoga cerita ini bisa jadi bahan refleksi. Karena pada akhirnya, dunia ini bukan tentang siapa yang paling kaya, tapi siapa yang paling bisa memanusiakan manusia lain.
Kalau mau menilai orang, berkacalah dulu. Tapi jangan sembarangan kaca. Pakai yang proper kalau bisa, kaca spion mobil orang kaya sekalian, biar kamu bisa lihat betapa kecilnya kita di dunia ini. Kita beda, iya. Tapi beda itu bukan berarti lebih rendah atau lebih tinggi. Hanya... beda.
Mari kita belajar untuk membumi, daripada melangit tapi nggak tahu arah angin.